“Akhlaq
Da’i”
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah “Etika Dakwah”
Disusun Oleh:
Kelompok
II (BPI/ IV/ A)
Agung
Gunawan
Ahmad
saeful Dahlan
Desy
Pratiwi
Fitri
Apriliantini
JURUSAN
BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang Masalah
Tantangan
dakwah kian hari semakin bertambah berat. Keefektifan penggunaan tekhnologi
telekomunikasi telah memfasilitasi seruan-seruan kepada thogut semakin berdaya.
Gempuran pemikiran, ide, gagasan, sampai pola dan gaya hidup yang merusak
moral, pergaulan bebas, pornografi dan pornoaksi, permusuhan dan kekerasan
benar-benar telah membawa dampak terhadap generasi muslim pada zaman kini.
Tantangan dakwah ini dirasakan lagi beratnya dengan kenyataan dakwah yang dilakukan
para da’i kurang intensif dan hanya sebatas pada event-event tertentu, dan para
mustami’in berbahagia kadang tertawa-tawa karena memperhatikan
kelucuan-kelucuan yang ditampilkan sang mubalig. Dan banyak pula para juru
dakwah yang tidak memperhatikan kode etik dalam berdakwah, sehingga bisa
merusak citra dan reputasi nya dihadapan masyarakat.
Jika
para da’i sadar akan tugas yang sedang diembannya, maka tugas da’i bukan hanya
menyampaikan saja, tetapi sebagai warosatul anbiya, yaitu bahwa dirinya mengemban
amanah dari Allah SWT, dan ia pun dituntut untuk mengamalkannya. Oleh karenanya
penting bagi da’i untuk terus, dan terus meningkatkan ilmu pengetahuannya,
memperbaiki akhlaq dan kepribadiannya dan meningkatkan kompetensinya. Serta
mengetahui bagaimana akhlaq-akhlaq dan keteladanan para nabi dalam berdakwah,
sehingga kita bisa belajar dari keberhasilan dakwah para nabi. Dan juga para
juru dakwah pun perlu mengetahui rambu-rambu etis dalam berdakwah, sebagai
patokan/ tolok ukur dalam proses dakwahnya.
1.2.
Rumusan Masalah
-
Bagaimanakah dorongan akhlaq pada
manusia?
-
Bagaimanakah gambaran akhlaq para nabi
dalam sejarah?
-
Bagaimanakah rambu-rambu etis dalam
berdakwah?
1.3.
Tujuan
-
Mengetahui dorongan akhlaq pada manusia.
-
Mempelajari gambaran akhlaq para nabi
dalam sejarah.
-
Memahami rambu-rambu etis dalam
berdakwah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Dorongan Akhlaq pada manusia
2.1.1 pengertian Akhlaq
Secara
etimologi akhlaq, menurut al Munawwir (1984)[1]
diartikan sebagai tabe’at, karakter, perangai, watak yaitu sifat yang telah
tertanam dengan kuat atau mendarah daging pada diri seseorang lantaran faktor
pendidikan, pembiasaan, pembinaan, pelatihan yang pernah ditekuninya.
Sedangkan
secara terminologi, yang dikemukakan para ahli, sebagaimana dikutip Abuddin
Nata (1997)[2]
antara lain:
1. Menurut
Ibn Maskawih, akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya
untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
2. Menurut
Imam Al Ghazali, sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam
perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
3. Menurut
Ibrahim Anis, Akhlaq adalah sikap yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahir
macamm-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pertimbangan dan
pemikiran.
4. Menurut
abdul Hamid, akhlaq adalah sifat-sifat manusia yang terdidik.
Berdasarkan
ragam pendapat tersebut Abuddin Nata menyimpulkan ciri-ciri perbuatan akhlaq
menjadi :[3]
Pertama,
perbuatan itu telah tertanam kuat dalam jiwanya sehingga telah menjadi
kepribadiannya. Jika kita mengatakan si A memiliki sifat taat beribadah, maka
sikap ketaatan itu dapat dibuktikan kapan dan dimanapun si A akan tetap melaksanakan ketaatan beribadah.
Kedua, perbuatan
itu dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran serta dalam keadaan sadar.
Misalnya: karena telah terbiasa dan mendarah daging mengerjakan shalat lima
waktu maka saat mendengar panggilan shalat ia sudah merasa tidak berat lagi
mengerjakannya.
Ketiga, perbuatan
itu timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya atas dasar kemauan,
pilihan serta putusan dirinya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Hal
ini bisa diketahui pada sikap seseorang untuk menentukan pilihan mengenai calon
pemimpin yang didasarkan atas pertimbangan nuraninya.
Keempat,
perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena
bersandiwara. Jika kita menyaksikan orang berbuat kejam, sadis, jahat, dan
seterusnya, tapi perbuatan itu kita lihat dalam pertunjukan film, maka
perbuatan tersebut tidak dapat disebut perbuatan akhlak, karena perbuatan
tersebut buka perbuatan sebenarnya.
Kelima,
perbuatan itu dilakukan karena ikhlas semata-mata karena allah, bukan karena
ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Berdasarkan
pengertian akhlaq diatas, maka akhlaq da’i dapat dirumuskan sebagai
kecenderungan positif dari para da’i tentang cara berfikirnya, kebiasaan
berperilaku islami sesuai ketentuan ajaran islam, dilakukan secara terus
menerus diberbagai situais dan kondisi sehingga menjadi watak dan tabe’at atau
kepribdiannya.
2.1.2 Pola Strategis dalam Menjaga
Akhlak
Aspek- aspek Perilaku yang harus
dijaga
Dalam
memelihara akhlak bagi para da’i, ada beberapa aspek perilaku yang harus
dipertahankan. Menurut Syukriadi Sambas (2004) aspek-aspek itu dapat dikenal
melalui indikasinya antara lain : amaliyah qalbiyyah, amaliyah lisaniyyah,
amaliah badaniyyah, amaliyah maliyah dan amaliyah ijtima’iyyah.[4]
-
Amaliyah Qalbiyyah
Amaliyah ini merupakan
suatu upaya untuk membangun kemantapan psikologis dan spiritual. Diantaranya
amalan yang dianjurkan : memperbanyak dzikir dan do’a, mengasah kemampuan
pikir, melatih kecerdasan emosi, mengisi qalbu dengan ilmu dan hikmah, menjaga
dan merawat keheningan qalbu dan kesuciannya.
Kondisi kalbu yang
terawat merupakan hal yang penting bagi da’i karena dengan itu bisa menjamin
stabilitas emosi, ketenangan, ketentraman, kekhusyuan, dan ilmu dapat dengan
mudah diperoleh. Para ulama sufi sering mengatakan hati ibarat cermin jika ia
bening maka ia akan mampu memantulkan cahaya ilahi atau gambar-gambar berupa
ilmu pengetahuan. Dalam sebuah hadits disebutkan: ketahuilah dalam tubuh itu
ada segumpal daging jika daging itu baik maka baiklah seluruh anggota badan,
dan sebaliknya jika daging itu buruk mak aburuk pula seluruh anggota badan.
Ketahuilah itu adalah qalbu.
-
Amaliyah Lisaniyyah
Amaliyah ini merupakan
suatu upaya untuk membangun kompetensi dalam penggunaan lidah dan
pengendaliannya. Diantaranya : tidak asal bersuara, hal ini seperti ada kaidah
yang mengatakan, waspadalah dalam penggunaan lisan, terutama berfikirlah
terlebih dahulu sebelum berkata, sebab jika perkataan telah dilontarkan bukan
lagi lisan yang mengendalikan perkataan, tapi perkataan yang menghukum lisan.
Berkatalah secara
benar, halus, lembut, tepat, efektif, dan efisien. Berkata dengan melihat
situasi dan kondisi mungkin sewaktu-waktu mengeluarkan perkataan yang pahit
tapi dalam moment tertentu menjadi obat yang bermanfaat dan dapat menyembuhkan.
Kemudian diantara amalan amaliyyah lisaniyyah yang baik dibiasakan para da’i
yaitu : menghapal ayat-ayat al qur’an secara fasih, melatih vokal huruf,
peribahasa, anekdot, kisah dan lain-lain, membiasakan kalimat tayyibah dan
penempatannya.
-
Amaliyah Badaniyyah
Amaliyah ini merupakan
upaya untuk membangun kondisi jasmani tetap prima, energik, penuh vitalitas.
Diantaranya dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi, berolahraga secara
teratur, agar fisik tetap sehat dan kuat.
-
Amaliyah Maliyyah
Amaliyyah ini merupakan
usaha untuk membangun kompetensi ekonomi, dari mulai pencarian, pemanfaatan/
penggunaan, penunaian syariah berupa ZIS, kenyataan membuktikankelemahan aspek
ekonomi bisa menjadi kendala dalam dakwah. Nabi Saw bersabda : hampir kefakiran
menyebabkan kekafiran.
-
Amaliyah ijtimaiyyah
Amaliyah ini merupakan suatu usaha
untuk membangun kompetensi dalam berkomunikasi baik secara vertikal,
horisontal, dan diagonal dengan sesama manusia diantaranya: mengenal urf,
tradisi positif yang dianut, tegur sapa, sopan, santun, senyum, mengenal banyak
teori komunikasi, gemar bersilahturahmi.
Cara dan usaha membangun akhlaq,
menurut Abdullah Gymnastiyar (2004) antara lain:[5]
-
Selalu menata hati
Hati yang tertata
terpelihara, pemiliknya akan senantiasa merasa lapang, tentram, tenang, sejuk
dan indah, terlihat dalam gerak-gerik, perilaku, tutur kata, senyum, tatapan
mata. Dirinya senantiasa berada dalam keadaan damai dan mendamaikan, tenang dan
menenangkan, tentram dan menentramkan.
-
Selalu meningkatkan energi/ kekuatan ruh
yang dahsyat
Kekuatan ruh yang
dahsyat mampu membolak-balikan hati, mengislamkan yang belum islam, dan
meluruskan yang tersesat.
-
Membiasakan pola pikir dan pola sikap
yang islami
Yaitu senantiasa membangun
pemikiran dan kecenderungan secara bersamaan pada seseorang berdasarkan akidah
islam dan menjadikan islam sebagai tolak ukur umum terhadap seluruh pemenuhan
baik kebutuahn jasmani maupun naluri.
2.2. Gambaran Akhlaq Nabi Saw dalam sejarah
Rasulullah SAW sebagai teladan
dalam berdakwah
Tidak
ada teladan terbaik dalam berdakwah selain dakwah rasulullah SAW. Hanya 23
tahun beliau berhasil tatanan masyarakat arab yang jahiliyah kepada masyarakat
islam, dari masyarakat penyembah berhala pada masyarakat penyembah Allah SWT.
Dari masyarakat gemar berjudi dan minum arak menjadi masyarakat taat pada Allah
dan rasul nya dari kemusyrikan kepada tauhid dari perpecahan pada persatuan,
dan dari biadab menjadi beradab.
Berdasarkan
beberapa keterangan dan beberapa yang secara mendalam bahwa yang menjadikan
Rasulullah dalam berdakwah sebagai berikut:
1.
Dakwah Rasulullah SAW adalah dakwah
etis. Menurut Ali Mufrodi sekurang-kurangnya ada dua nilai etis yang terpancar
dari dakwah Nabi Saw, yaitu nilai konsistensi dan nilai keteladanan.
2.
Nabi Saw sangat mampu menjaga dan
merawat kompetensi .
Selain
faktor-faktor diatas faktor lain yang dapat dibaca dari keberhasilan dakwah
Raulullah Saw terletak pada prinsip-prinsip etika yang dijunjung tinggi ketiga
berdakwah.
Pertama,
cara rasul dalam merespon sebuah kemungkaran. Kedua, dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, beliau selalu
memperhatikan akibat yang akan ditimbulkan. Ketiga,
dalam merespon sebuah kejadian beliau tidak pernah bersikap kasar kepada orang
yang bersalah.
Dari
prinsip-prinsip itu diperoleh beberapa beberapa poin inti hikmah penting dalam
dakwah yaitu :
a.
Arahan secara bijaksana dengan melihat
situasi dan kondisi
b.
Bertahap dalam menyampaikan pesan
c.
Mengambil yang paling ringan madharatnya
diantara dua madharat
d.
Mengambil yang paling tinggi tingkat
kemaslahatannya.
Model
implementasi unsur etis dalam dakwah Rasul
Berikut
prakteki dakwah Nabi Saw:
1.
Aktivitas dakwah dalam memberikan dakwah
tentang shalat
2.
Cara rasul mengajarkan etika berbusana
3.
Cara rasul menegur laki-laki yang
menyerupai wanita dan sebaliknya
4.
Cara rasul menegur praktek dagang yang
menipu
2.3. Rambu-Rambu Etis dalam Dakwah
2.3.1. Kode Etik Umum Dalam Dakwah
Secara islam
etika dakwah itu adalah etika islam itu sendiri , dimana secara umum seorang
da’i harus melakukan tindakan-tindakan yang terpuji dan menjauhkan diri dari
perilaku-perilaku yang tercela. Sebagai sebuah profesi,
Menurut M. Munir(2006) dakwah memerlukan kode etik, yaitu sebuah istilah yang
merujuk pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang merumuskan perlakuan benar
dan salah atau dengan kata lain, kode etik adalah kumpulan kewajiban yang
mengikat para pelaku profesi dalam menjalankan tugasnya. Dan bagi para juru
dakwah, pengertian kode etik dakwah
berarti rambu-rambu etis juru dakwah agar dakwah yang dilakukannya benar-benar
efektif dan menimbulkan pencitraan yang positif dari khalayak mad’u yang
didakwahinya.[6]
Sehingga
dapat dihasilkan dakwah yang bersifat responsive. Dan sumber dari
rambu-rambu etis dakwah bagi seorang da’i adalah Al-Qur’an, seperti yang
telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun rambu-rambu etis tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Tidak
memisahkan antara ucapan dan perbuatan
Kode etik ini bersumber dari firman
allah dalam Surat Al-Shaff ayat 2-3 yang artinya :
“Hai
orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak
melakukannya ? amat besar murka di sisi Allah, bahwa kalian menngatakan apa
yang kalian tidak kerjakan.”
2. Tidak
melakukan toleransi agama.
Toleransi memang di anjurkan oleh
Islam, tetapi hanya dalam batas-batas tertentu dan tidak menyangkut masalah
agama (kepercayaan). Dalam masalah prinsip keyakinan (Aqidah), islam memberikan
garis tegas untuk tidak bertoleransi, kompromi dan sebagainya.seperti yang
tergambar dalam Surat Al-Kafirun ayat 1-6. Artinya :
“Katakanlah
: Hei orang-orang kafir , aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah . Dan
kamu bukan penyembah Tuhan apa yang aku sembah. Dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu lah agama mu, dan untukku lah
agama ku.”
Dalam hal ini pula bias dilihat
dalam surat Al-Khafi ayat 29 Artinya:
“Dan
katakanlah : kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan
diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka,
itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”
3.
Tidak menghina sesembahan non muslim
Kode etik ini diambil dari QS. AlAn’am ayat
108 Artinya :
“Dan
janganlah kamu memakai sembah-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
Peristiwa ini berawal ketika pada
zaman Rasulullah orang-orang muslim pada saat itu mencerca berhala-berhala
sembahan orang-orang musrikin, dan akhirnya karena hal itu menyebabkan mereka
mencerca Allah, maka Allah menurunkan ayat tersebut.
4. Tidak
melakukan diskriminasi social
Apa bila mensuri tauladan Nabi maka
para da’I hendaknya tidak membeda-bedakan atau pilih kasih anatara sesame ,
baik kaya maupun miskin, kelas elit maupun kelas marjinal ataupun status lainnya
yang menimbulkan ketidakadilan. Semua harus mendapatkan perlakuan yang sama.
Karena keadilan sangatlah penting dalam dakwah. Da’I harus menjunjung tinggi
hak universal dalam berdakwah. Kode etik ini di dasari pada QS. Abasa ayat
1-2. Yang Artinya : “Dia (Muhammad) bermuka musam dan berpaling, Karena karena
telah datang seorang buta kepadanya.”
5. Tidak
memungut imbalan
Ada perbedaan pendapat tentang
dibolehkannya ataupun dilarang dalam memungut biaya atau dalam bahasa lain
memasang tariff , dalam hal ini berpendapat menjadi 3 kelompok:
a.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa memungut imbaan dalam
berdakwah hukumnya haram secara mutlak, baik dengan perjanjian sebelumnya
ataupun tidak.
b. Al-Hasan
Al-Basri, Ibn Sirin, Al-Sya’ibi dkk. Mereka berpendapat boleh hukumnya memungut
bayarab dalam berdakwah tapi harus di adakan perjanjian terlebih dahulu.
c. Imam Malik
bin Anas & Imam Syafei, memperbolehkan memungut biaya atau imbalan dalam
menyebarkan ajaran islam baik ada perjanjian sebelumnya maupun tidak
Perbedaan pendapat
dari para ulama terjadi Karena banyaknya teks-teks Al-Qur’an yang menjadi
sumber etika sehingga muncul perbedaaan dalam penafsiran dan pemahamannya.
6. Tidak
berteman dengan pelaku maksiat
Berkawan dengan pelaku maksiat ini
di khawatirkan akan berdampak buruk. Karena orang bermaksiat itu beranggapan
bahwa seakan-akan berbuat maksiat direstui oleh dakwah, pada sisi lain integritas
seorang da’i akan berkurang.
7. Tidak
menyampaikan hal hal yang tidak diketahui
Da’I yang menyampaikan suatu hokum,
sementara ia tidak mengetahui, hokum itu pasti akan menyesatkan umat. Seorang
juru dakwah tidak boleh asal menjawab pertanyaan orang menurut seleranya sendiriyang
tanpa ada dasar hukumnya.
2.3.2.
Kode Etik
Bidang Profesi
Selain kerangka kode etik umum sebagaimana disebutkan
diatas, penting dipatuhi da’i adalah kode etik dalam bidang keahlian. Kode etik
ini mencakup kode etik sikap dan kode etik pelaksanaan tugas.[7]
Kode etik
dalam sikap
Mengenai
kode etik sikap, yang seharusnya mendapatkan perhatian para juru dakwah antara
lain:
1. Sikap
tanggung jawab dan rasa hormat kepada orang lain, hal ini meliputi : tanggung
jawab atas pekerjaan dalam arti melakukan pekerjaan sebaik mungkin untuk
mencapai kualitas hasil terbaik/ tidak membahayakan, tidak mengurangi mutu
kehidupan manusia dan lingkungan, bertanggung jawab atas dampak pekerjaan yang
telah dilakukannya.
2. Berorientasi
pada memaksimalkan pelayanan
3. Menjunjung
tinggi ciri kepribadian moral : tekad dan keberanian yang kuat untuk bertindak
sesuai tuntutan profesi, sadar akan kewajiban, bersungguh-sungguh dengan penuh
ketulusan dalam menjalankan profesi.
Kode etik
dalam pelaksanaan tugas
Yaitu kode
etik ini berkaitan dengan kompetensi yang dikuasainya, konmpetensi yaitu
kemampuan juru dakwah untuk mengenal posisi dirinya dalam kapasitas sebagai apa
dan siapa, mengenal bidang garapan, mengenal langkah-langkah yang harus
dilalui, mampu memecahkan segala persoalan yang menyangkut bidangnya.
Secara ril orang yang memiliki kompetensi dapat
diketahui melalui ciri-ciri yang melekat padanya.
1. Kompetensi
Tablig : ia mampu mengkondisikan audience saat ia mulai tampil ceramah, ia
mampu menyampaikan pesan dakwah dengan bahasa yang mudah dimengerti dan enak
didengar, sistematika penyampaian, organisasi pesan, intonasi dan aksentuasi,
ia memahami kebutuhan sasaran dakwah, ia mampu tampil dengan penuh percaya
diri, ia mengenal situasi dan mampu menyesuaikan kehadirannya, pesannya dengan
situasi dimana ia bertugas, ia mampu menggunakan sarana yang disediakan, ia
mampu menampilkan keindahan karakter yang terselubung dalam jiwanya.
2. Kompetensi
Irsyad,: ia mampu menjaga, merawat, memelihara dan mempertahankan kadar
kecerdasan, emosi, dan spiritualitasnya, ia mampu berkomunikasi secara timbal
balik, ia mampu membaca, memahami, menyelesaikan sejumlah persoalan yang
dikeluhkan kliennya, ia mampu mengungkap dan membongkar problem yang diderita
kliennya, ia mampu membedakan karakter kliennya yang umumnya berbeda-beda dll.
3. Kompetensi
mudbir, ia mampu merawat karakter jiwa besar, moralitas amanah, jujur,
berkepribadian santun, rendah hati, berwawasan luas, berdedikasi tinggi, ulet,
slalu berfikir inovatif, tanggung jawab, piawai dalam kepemimpinan dan
administrasi dan berorientasi pada pemecahan masalah.
4. Kompetensi
Muthwir, ia mampu melebur dalam pergaulan ditengah masyarakat, mampu membaca
kebutuhan masyarakat, mampu membuat konsep pemecahan atas persoalan yang
berkembang di masyarakat, mampu mempertahankan karakter positif dan
kredibilitas di tengah masyarakat.
2.3.3.
Karakteristik Kode Etik Dakwah
Yang menjadi
karakteristik dari etika dakwah adalah karakteristik dari etika islam itu
sendiri. Dimana cakupannya terdiri dari sumber moral dakwah. Standar yang
digunakan untuk menentukan baik buruknya tingkah laku sang da’I, pandangan
terhadap dan naluri.
1. Al-Quran dan sunah sumber moral
Karena pada dasarnya Al-Qur’an itu
sendiri merupakan dakwah yang terkuat baggi pengembangan islam karena Al-Qur’an
mencangkup cerita orang-orang terdahulu dan syariat –syariatnya srta
hukum-hukumnya
2. Akal dan
Naluri
Dalam menentukan baik dan buruk
dalam etika dakwah adalah akal dan naluri. Dalam etika islam akal dan naluri
berpendirian sebagai berikut :
a.
Akal dan nalluri adalah anugerah Allah
b.
Naluri yang mendapatkan pengarahan dari petunjuk Allah
yang dijelaskan dalam kitabnya
c.
Akal dan pikiran mannusia terbatas sehingga
pengetahuan manusia terbatas dan manusia tidak akan mampu memecahkan seluruh
permasalahan yang ada. Akan tetapi hanya akal yang dipancari cahaya Al-Qur’an
yang bias menempatkanpada tempatnya.
3. Motivasi
Iman
Dalam melakukan tugas dakwah
haruslah memiliki motivasi ataupun pendorong dalam melakukan segala
aktivitasnya yaitu Aqidah dan iman yang terpatri dalam hati. Imanitulah
yang mendorong seorang da’I mampu berbuat ikhlas, beramal sholeh, bekerja keras
dan rela berkorban.iman yang sempurna akakn menjelmakan cinta dan taat kepada
Allah.
“Sekali-kali
seseorang Mukmin merasa kenyang (puas) mengerjakan kebajikan, menjelang
puncaknya mamasuki syurga” (HR. Tirmizi)
2.3.4.
Hikmah Dalam Etika Dakwah
Secara umum hikmah dalam
mengaplikasikan kode etik dakwah itu adalah :
1. Kemajuan
rohani.
Dimana bagi
seorang juru dakwah ia akan selalu berpegang pada rambu-rambu garis islam, maka
secara otomatis, ia akan memilliki akhlak yang mulia.
2. Sebagai
penuntuk kebaikan.
Kode etik
dakwah menuntut da’I pada jalan kebaikan tepi mendorong dan memotivasimembentuk
kehidupan yang suci dengan memprodusir kebaikan dan kebijakan yang mendatangkan
kemanfaatan bagi sang da’i khususnya, dan umat islam pada umumnya.
3. Membawa
kesempurnaan iman
Iman yang
sempurna akan melahirkan kesempurnaan diri. Dengan kata lain, bahwa keindahan
etika adalah manifestasi dari pada kesempurnaan iman. Abu Hurairah meriwayatkan
penegasan Rasulullah saw. :“Orang mukmin
yang paling sempurna ialah yang terbaik akhlak dan etikanya” (Hr. at-tirmizi)
4. Kerukunan
antar umat beragama, untuk membina keharmonisan secara extern dan intern pada
diri sang da’i.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesuksesan dakwah tidaklah semata-mata ditentukan
kemampuan sang da’i, tapi ada faktor terpenting lain yaitu khuluqiyyah
(kepribadian) sang da’i itu sendiri. Pada dasarnya kepribadian seorang da’i
tercermin dari pesan–pesan dakwah yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika dalam dakwahnya ia berpesan agar menegakkan shalat, maka shalat itu memang
sudah dilakukannya, kalau ia menganjurkan berinfaq, maka memang sudah ia
laksanakan. Dakwah yang dilakukan tanpa mengamalkan pesan–pesan dakwahnya akan
sulit untuk bisa di terima oleh sang mad’u (objek dakwah) sampai kedalam
hatinya. Padahal memasukkan pesan– pesan dakwah tidak hanya sampai ke orang
lain tapi harus membuat terjadinya perubahan dan dilaksanakan dengan dorongan
hati.
Karena dakwah merupakan upaya untuk mempengaruhi orang
lain, maka agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan baik bagi da’i
sendiri maupun pihak yang didakwahi, dakwah nabi saw mengenal adanya
aturan-aturan permainan yang dikenal dengan etika dakwah atau kode etik dakwah.
Sebenarnya secara umum etika dakwah adalah etika islam itu sendiri, dimana
seorang da’i sebagai seorang muslim dituntut untuk memiliki etika-etika yang
terpuji dan menjauhkan diri dari prilaku yang tercela.
Namun secara khusus dalam dakwah terdapat etika
sendiri seperti dicontohkan nabi saw berikut ini: Tidak memisahkan antara
ucapan dan perbuatan, Tidak melakukan toleransi
agama,
Tidak Menghina sesembahan Non-Muslim, Tidak melakukan Diskriminasi Sosial, Tidak memungut
Imbalan, Tidak berteman dengan pelaku maksiat, Tidak
menyampaikan hal -hal yang tidak diketahui.
3.2 Saran
- Hendaklah seorang
penjuru dakwah memperhatikan moral dan akhlaqnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dan menyelaraskan ucapan dan perbuatannya.
- Hendaklah penjuru
dakwah banyak mempelajari sejarah tentang akhaq para nabi dalam berdakwah,
sehingga bisa mengambil hikmah dan tuntunan dari keteladanan nabi dalam
berdakwah.
- Hendaknya Penjuru
dakwah dapat mengaplikasikan kode etik dalam berdakwah dan menjaga citra dan
repuatasinya di hadapan para mad’u.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Ahmad warson Al Munawir, Al Munawir,
Yogyakarta, Ponpes al Munawir, 1984
·
Abuddin Nata, akhlak Tasawuf. Jakarta: PT raja grafindo Persada, 1997
·
Abdullah Gymnastiar, 5(lima), tulisan
pada mk:@MSIT StoreC:/ my%20 Document/ from % 20 Internet/aagym.chm::/m_qalbu/
lima_html.
·
M.Munir, metode dakwah, jakarta : kencana:2006
·
Mafri Amir, Etika komunikasi massa dalam pandangan islam,: jakarta: Logos 1999.
·
Syukriadi Sambas, Rislaah pohon ilmu dakwah. Bandung, KP Hadid: 2004
·
Enjang dan Hajir tajiri, Etika Dakwah, Bandung : Widya padjajaran
: 2009
[1] Ahmad warson Al Munawir, Al Munawir,
Yogyakarta, Ponpes al Munawir, 1984
[2] Abuddin Nata, akhlak Tasawuf. Jakarta: PT
raja grafindo Persada, 1997
[3] Ibid, abuddin Nata
[4] Syukriadi Sambas, Rislaah pohon ilmu dakwah.
Bandung, KP Hadid: 2004
[5] Abdullah Gymnastiar, 5(lima), tulisan pada
mk:@MSIT StoreC:/ my%20 Document/ from % 20 Internet/aagym.chm::/m_qalbu/
lima_html.
[6] M.Munir, metode dakwah, jakarta :
kencana:2006
[7] Mafri Amir, Etika komunikasi massa dalam
pandangan islam,: jakarta: Logos 1999.
teteh cantik,post-nya aku copy ya..
BalasHapusTeh, aku ijin copy yaa post an nya hhe
BalasHapus