Selasa, 16 Oktober 2012

Makalah Akhlak Da'i BPI V A Kelompok 2


“Akhlaq Da’i”
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah “Etika Dakwah”

                                                          Logo Baru UIN Bandung.jpg

        Disusun Oleh:                                       
Kelompok II (BPI/ IV/ A)

Agung Gunawan                   
Ahmad saeful Dahlan           
Desy Pratiwi                          
Fitri Apriliantini                   


JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012

 

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Tantangan dakwah kian hari semakin bertambah berat. Keefektifan penggunaan tekhnologi telekomunikasi telah memfasilitasi seruan-seruan kepada thogut semakin berdaya. Gempuran pemikiran, ide, gagasan, sampai pola dan gaya hidup yang merusak moral, pergaulan bebas, pornografi dan pornoaksi, permusuhan dan kekerasan benar-benar telah membawa dampak terhadap generasi muslim pada zaman kini. Tantangan dakwah ini dirasakan lagi beratnya dengan kenyataan dakwah yang dilakukan para da’i kurang intensif dan hanya sebatas pada event-event tertentu, dan para mustami’in berbahagia kadang tertawa-tawa karena memperhatikan kelucuan-kelucuan yang ditampilkan sang mubalig. Dan banyak pula para juru dakwah yang tidak memperhatikan kode etik dalam berdakwah, sehingga bisa merusak citra dan reputasi nya dihadapan masyarakat.
Jika para da’i sadar akan tugas yang sedang diembannya, maka tugas da’i bukan hanya menyampaikan saja, tetapi sebagai warosatul anbiya, yaitu bahwa dirinya mengemban amanah dari Allah SWT, dan ia pun dituntut untuk mengamalkannya. Oleh karenanya penting bagi da’i untuk terus, dan terus meningkatkan ilmu pengetahuannya, memperbaiki akhlaq dan kepribadiannya dan meningkatkan kompetensinya. Serta mengetahui bagaimana akhlaq-akhlaq dan keteladanan para nabi dalam berdakwah, sehingga kita bisa belajar dari keberhasilan dakwah para nabi. Dan juga para juru dakwah pun perlu mengetahui rambu-rambu etis dalam berdakwah, sebagai patokan/ tolok ukur dalam proses dakwahnya.
1.2. Rumusan Masalah
-          Bagaimanakah dorongan akhlaq pada manusia?
-          Bagaimanakah gambaran akhlaq para nabi dalam sejarah?
-          Bagaimanakah rambu-rambu etis dalam berdakwah?

1.3. Tujuan
-          Mengetahui dorongan akhlaq pada manusia.
-          Mempelajari gambaran akhlaq para nabi dalam sejarah.
-          Memahami rambu-rambu etis dalam berdakwah.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Dorongan Akhlaq pada manusia
2.1.1 pengertian Akhlaq
Secara etimologi akhlaq, menurut al Munawwir (1984)[1] diartikan sebagai tabe’at, karakter, perangai, watak yaitu sifat yang telah tertanam dengan kuat atau mendarah daging pada diri seseorang lantaran faktor pendidikan, pembiasaan, pembinaan, pelatihan yang pernah ditekuninya.
Sedangkan secara terminologi, yang dikemukakan para ahli, sebagaimana dikutip Abuddin Nata (1997)[2] antara lain:
1.      Menurut Ibn Maskawih, akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
2.      Menurut Imam Al Ghazali, sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
3.      Menurut Ibrahim Anis, Akhlaq adalah sikap yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahir macamm-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pertimbangan dan pemikiran.
4.      Menurut abdul Hamid, akhlaq adalah sifat-sifat manusia yang terdidik.

Berdasarkan ragam pendapat tersebut Abuddin Nata menyimpulkan ciri-ciri perbuatan akhlaq menjadi :[3]
Pertama, perbuatan itu telah tertanam kuat dalam jiwanya sehingga telah menjadi kepribadiannya. Jika kita mengatakan si A memiliki sifat taat beribadah, maka sikap ketaatan itu dapat dibuktikan kapan dan dimanapun si A  akan tetap melaksanakan ketaatan beribadah.
Kedua, perbuatan itu dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran serta dalam keadaan sadar. Misalnya: karena telah terbiasa dan mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu maka saat mendengar panggilan shalat ia sudah merasa tidak berat lagi mengerjakannya.
Ketiga, perbuatan itu timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya atas dasar kemauan, pilihan serta putusan dirinya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Hal ini bisa diketahui pada sikap seseorang untuk menentukan pilihan mengenai calon pemimpin yang didasarkan atas pertimbangan nuraninya.
Keempat, perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Jika kita menyaksikan orang berbuat kejam, sadis, jahat, dan seterusnya, tapi perbuatan itu kita lihat dalam pertunjukan film, maka perbuatan tersebut tidak dapat disebut perbuatan akhlak, karena perbuatan tersebut buka perbuatan sebenarnya.
Kelima, perbuatan itu dilakukan karena ikhlas semata-mata karena allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Berdasarkan pengertian akhlaq diatas, maka akhlaq da’i dapat dirumuskan sebagai kecenderungan positif dari para da’i tentang cara berfikirnya, kebiasaan berperilaku islami sesuai ketentuan ajaran islam, dilakukan secara terus menerus diberbagai situais dan kondisi sehingga menjadi watak dan tabe’at atau kepribdiannya.
2.1.2 Pola Strategis dalam Menjaga Akhlak
Aspek- aspek Perilaku yang harus dijaga
Dalam memelihara akhlak bagi para da’i, ada beberapa aspek perilaku yang harus dipertahankan. Menurut Syukriadi Sambas (2004) aspek-aspek itu dapat dikenal melalui indikasinya antara lain : amaliyah qalbiyyah, amaliyah lisaniyyah, amaliah badaniyyah, amaliyah maliyah dan amaliyah ijtima’iyyah.[4]
-          Amaliyah Qalbiyyah
Amaliyah ini merupakan suatu upaya untuk membangun kemantapan psikologis dan spiritual. Diantaranya amalan yang dianjurkan : memperbanyak dzikir dan do’a, mengasah kemampuan pikir, melatih kecerdasan emosi, mengisi qalbu dengan ilmu dan hikmah, menjaga dan merawat keheningan qalbu dan kesuciannya.
Kondisi kalbu yang terawat merupakan hal yang penting bagi da’i karena dengan itu bisa menjamin stabilitas emosi, ketenangan, ketentraman, kekhusyuan, dan ilmu dapat dengan mudah diperoleh. Para ulama sufi sering mengatakan hati ibarat cermin jika ia bening maka ia akan mampu memantulkan cahaya ilahi atau gambar-gambar berupa ilmu pengetahuan. Dalam sebuah hadits disebutkan: ketahuilah dalam tubuh itu ada segumpal daging jika daging itu baik maka baiklah seluruh anggota badan, dan sebaliknya jika daging itu buruk mak aburuk pula seluruh anggota badan. Ketahuilah itu adalah qalbu.

-          Amaliyah Lisaniyyah
Amaliyah ini merupakan suatu upaya untuk membangun kompetensi dalam penggunaan lidah dan pengendaliannya. Diantaranya : tidak asal bersuara, hal ini seperti ada kaidah yang mengatakan, waspadalah dalam penggunaan lisan, terutama berfikirlah terlebih dahulu sebelum berkata, sebab jika perkataan telah dilontarkan bukan lagi lisan yang mengendalikan perkataan, tapi perkataan yang menghukum lisan.
Berkatalah secara benar, halus, lembut, tepat, efektif, dan efisien. Berkata dengan melihat situasi dan kondisi mungkin sewaktu-waktu mengeluarkan perkataan yang pahit tapi dalam moment tertentu menjadi obat yang bermanfaat dan dapat menyembuhkan. Kemudian diantara amalan amaliyyah lisaniyyah yang baik dibiasakan para da’i yaitu : menghapal ayat-ayat al qur’an secara fasih, melatih vokal huruf, peribahasa, anekdot, kisah dan lain-lain, membiasakan kalimat tayyibah dan penempatannya.

-          Amaliyah Badaniyyah
Amaliyah ini merupakan upaya untuk membangun kondisi jasmani tetap prima, energik, penuh vitalitas. Diantaranya dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi, berolahraga secara teratur, agar fisik tetap sehat dan kuat.

-          Amaliyah Maliyyah
Amaliyyah ini merupakan usaha untuk membangun kompetensi ekonomi, dari mulai pencarian, pemanfaatan/ penggunaan, penunaian syariah berupa ZIS, kenyataan membuktikankelemahan aspek ekonomi bisa menjadi kendala dalam dakwah. Nabi Saw bersabda : hampir kefakiran menyebabkan kekafiran.



-          Amaliyah ijtimaiyyah
Amaliyah ini merupakan suatu usaha untuk membangun kompetensi dalam berkomunikasi baik secara vertikal, horisontal, dan diagonal dengan sesama manusia diantaranya: mengenal urf, tradisi positif yang dianut, tegur sapa, sopan, santun, senyum, mengenal banyak teori komunikasi, gemar bersilahturahmi. 
Cara dan usaha membangun akhlaq, menurut Abdullah Gymnastiyar (2004) antara lain:[5]
-          Selalu menata hati
Hati yang tertata terpelihara, pemiliknya akan senantiasa merasa lapang, tentram, tenang, sejuk dan indah, terlihat dalam gerak-gerik, perilaku, tutur kata, senyum, tatapan mata. Dirinya senantiasa berada dalam keadaan damai dan mendamaikan, tenang dan menenangkan, tentram dan menentramkan.
-          Selalu meningkatkan energi/ kekuatan ruh yang dahsyat
Kekuatan ruh yang dahsyat mampu membolak-balikan hati, mengislamkan yang belum islam, dan meluruskan yang tersesat.
-          Membiasakan pola pikir dan pola sikap yang islami
Yaitu senantiasa membangun pemikiran dan kecenderungan secara bersamaan pada seseorang berdasarkan akidah islam dan menjadikan islam sebagai tolak ukur umum terhadap seluruh pemenuhan baik kebutuahn jasmani maupun naluri.
2.2. Gambaran Akhlaq  Nabi Saw dalam sejarah
Rasulullah SAW sebagai teladan dalam berdakwah
Tidak ada teladan terbaik dalam berdakwah selain dakwah rasulullah SAW. Hanya 23 tahun beliau berhasil tatanan masyarakat arab yang jahiliyah kepada masyarakat islam, dari masyarakat penyembah berhala pada masyarakat penyembah Allah SWT. Dari masyarakat gemar berjudi dan minum arak menjadi masyarakat taat pada Allah dan rasul nya dari kemusyrikan kepada tauhid dari perpecahan pada persatuan, dan dari biadab menjadi beradab.
Berdasarkan beberapa keterangan dan beberapa yang secara mendalam bahwa yang menjadikan Rasulullah dalam berdakwah sebagai berikut:
1.      Dakwah Rasulullah SAW adalah dakwah etis. Menurut Ali Mufrodi sekurang-kurangnya ada dua nilai etis yang terpancar dari dakwah Nabi Saw, yaitu nilai konsistensi dan nilai keteladanan.
2.      Nabi Saw sangat mampu menjaga dan merawat kompetensi .
Selain faktor-faktor diatas faktor lain yang dapat dibaca dari keberhasilan dakwah Raulullah Saw terletak pada prinsip-prinsip etika yang dijunjung tinggi ketiga berdakwah.
Pertama, cara rasul dalam merespon sebuah kemungkaran. Kedua, dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, beliau selalu memperhatikan akibat yang akan ditimbulkan. Ketiga, dalam merespon sebuah kejadian beliau tidak pernah bersikap kasar kepada orang yang bersalah.
Dari prinsip-prinsip itu diperoleh beberapa beberapa poin inti hikmah penting dalam dakwah yaitu :
a.       Arahan secara bijaksana dengan melihat situasi dan kondisi
b.      Bertahap dalam menyampaikan pesan
c.       Mengambil yang paling ringan madharatnya diantara dua madharat
d.      Mengambil yang paling tinggi tingkat kemaslahatannya.
Model implementasi unsur etis dalam dakwah Rasul
Berikut prakteki dakwah Nabi Saw:
1.      Aktivitas dakwah dalam memberikan dakwah tentang shalat
2.      Cara rasul mengajarkan etika berbusana
3.      Cara rasul menegur laki-laki yang menyerupai wanita dan sebaliknya
4.      Cara rasul menegur praktek dagang yang menipu
2.3. Rambu-Rambu Etis dalam Dakwah
2.3.1. Kode Etik Umum Dalam Dakwah
Secara islam etika dakwah itu adalah etika islam itu sendiri , dimana secara umum seorang da’i harus melakukan tindakan-tindakan yang terpuji dan menjauhkan diri dari perilaku-perilaku yang tercela. Sebagai sebuah profesi, Menurut M. Munir(2006) dakwah memerlukan kode etik, yaitu sebuah istilah yang merujuk pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang merumuskan perlakuan benar dan salah atau dengan kata lain, kode etik adalah kumpulan kewajiban yang mengikat para pelaku profesi dalam menjalankan tugasnya. Dan bagi para juru dakwah, pengertian kode etik dakwah berarti rambu-rambu etis juru dakwah agar dakwah yang dilakukannya benar-benar efektif dan menimbulkan pencitraan yang positif dari khalayak mad’u yang didakwahinya.[6] Sehingga dapat dihasilkan dakwah yang bersifat responsive. Dan sumber dari rambu-rambu etis dakwah bagi seorang da’i adalah Al-Qur’an, seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun rambu-rambu etis tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan
Kode etik ini bersumber dari firman allah dalam Surat Al-Shaff ayat 2-3 yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak melakukannya ? amat besar murka di sisi Allah, bahwa kalian menngatakan apa yang kalian tidak kerjakan.”
2.      Tidak melakukan toleransi agama.
Toleransi memang di anjurkan oleh Islam, tetapi hanya dalam batas-batas tertentu dan tidak menyangkut masalah agama (kepercayaan). Dalam masalah prinsip keyakinan (Aqidah), islam memberikan garis tegas untuk tidak bertoleransi, kompromi dan sebagainya.seperti yang tergambar dalam Surat Al-Kafirun ayat 1-6. Artinya :
“Katakanlah : Hei orang-orang kafir , aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah . Dan kamu bukan penyembah Tuhan apa yang aku sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu lah agama mu, dan untukku lah agama ku.”

Dalam hal ini pula bias dilihat dalam surat Al-Khafi ayat 29 Artinya:
“Dan katakanlah : kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka, itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”
3.      Tidak menghina sesembahan non muslim
 Kode etik ini diambil dari QS. AlAn’am ayat 108 Artinya :
“Dan janganlah kamu memakai sembah-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
Peristiwa ini berawal ketika pada zaman Rasulullah orang-orang muslim pada saat itu mencerca berhala-berhala sembahan orang-orang musrikin, dan akhirnya karena hal itu menyebabkan mereka mencerca Allah, maka Allah menurunkan ayat tersebut.
4.      Tidak melakukan diskriminasi social
Apa bila mensuri tauladan Nabi maka para da’I hendaknya tidak membeda-bedakan atau pilih kasih anatara sesame , baik kaya maupun miskin, kelas elit maupun kelas marjinal ataupun status lainnya yang menimbulkan ketidakadilan. Semua harus mendapatkan perlakuan yang sama. Karena keadilan sangatlah penting dalam dakwah. Da’I harus menjunjung tinggi hak universal dalam berdakwah. Kode etik ini di dasari pada QS. Abasa ayat 1-2. Yang Artinya : “Dia (Muhammad) bermuka musam dan berpaling, Karena karena telah datang seorang buta kepadanya.”
5.      Tidak memungut imbalan
Ada perbedaan pendapat tentang dibolehkannya ataupun dilarang dalam memungut biaya atau dalam bahasa lain memasang tariff , dalam hal ini berpendapat menjadi 3 kelompok:
a.       Mazhab Hanafi berpendapat bahwa memungut imbaan dalam berdakwah hukumnya haram secara mutlak, baik dengan perjanjian sebelumnya ataupun tidak.
b.      Al-Hasan Al-Basri, Ibn Sirin, Al-Sya’ibi dkk. Mereka berpendapat boleh hukumnya memungut bayarab dalam berdakwah tapi harus di adakan perjanjian terlebih dahulu.
c.       Imam Malik bin Anas & Imam Syafei, memperbolehkan memungut biaya atau imbalan dalam menyebarkan ajaran islam baik ada perjanjian sebelumnya maupun tidak
Perbedaan pendapat dari para ulama terjadi Karena banyaknya teks-teks Al-Qur’an yang menjadi sumber etika sehingga muncul perbedaaan dalam penafsiran dan pemahamannya.
6.      Tidak berteman dengan pelaku maksiat
Berkawan dengan pelaku maksiat ini di khawatirkan akan berdampak buruk. Karena orang bermaksiat itu beranggapan bahwa seakan-akan berbuat maksiat direstui oleh dakwah, pada sisi lain integritas seorang da’i akan  berkurang.



7.      Tidak menyampaikan hal hal yang tidak diketahui
Da’I yang menyampaikan suatu hokum, sementara ia tidak mengetahui, hokum itu pasti akan menyesatkan umat. Seorang juru dakwah tidak boleh asal menjawab pertanyaan orang menurut seleranya sendiriyang tanpa ada dasar hukumnya.

2.3.2.      Kode Etik Bidang Profesi
Selain  kerangka kode etik umum sebagaimana disebutkan diatas, penting dipatuhi da’i adalah kode etik dalam bidang keahlian. Kode etik ini mencakup kode etik sikap dan kode etik pelaksanaan tugas.[7]
Kode etik dalam sikap
          Mengenai kode etik sikap, yang seharusnya mendapatkan perhatian para juru dakwah antara lain:
1.      Sikap tanggung jawab dan rasa hormat kepada orang lain, hal ini meliputi : tanggung jawab atas pekerjaan dalam arti melakukan pekerjaan sebaik mungkin untuk mencapai kualitas hasil terbaik/ tidak membahayakan, tidak mengurangi mutu kehidupan manusia dan lingkungan, bertanggung jawab atas dampak pekerjaan yang telah dilakukannya.
2.      Berorientasi pada memaksimalkan pelayanan
3.      Menjunjung tinggi ciri kepribadian moral : tekad dan keberanian yang kuat untuk bertindak sesuai tuntutan profesi, sadar akan kewajiban, bersungguh-sungguh dengan penuh ketulusan dalam menjalankan profesi.
Kode etik dalam pelaksanaan tugas
Yaitu kode etik ini berkaitan dengan kompetensi yang dikuasainya, konmpetensi yaitu kemampuan juru dakwah untuk mengenal posisi dirinya dalam kapasitas sebagai apa dan siapa, mengenal bidang garapan, mengenal langkah-langkah yang harus dilalui, mampu memecahkan segala persoalan yang menyangkut bidangnya.
Secara ril orang yang memiliki kompetensi dapat diketahui melalui ciri-ciri yang melekat padanya.
1.      Kompetensi Tablig : ia mampu mengkondisikan audience saat ia mulai tampil ceramah, ia mampu menyampaikan pesan dakwah dengan bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar, sistematika penyampaian, organisasi pesan, intonasi dan aksentuasi, ia memahami kebutuhan sasaran dakwah, ia mampu tampil dengan penuh percaya diri, ia mengenal situasi dan mampu menyesuaikan kehadirannya, pesannya dengan situasi dimana ia bertugas, ia mampu menggunakan sarana yang disediakan, ia mampu menampilkan keindahan karakter yang terselubung dalam jiwanya.
2.      Kompetensi Irsyad,: ia mampu menjaga, merawat, memelihara dan mempertahankan kadar kecerdasan, emosi, dan spiritualitasnya, ia mampu berkomunikasi secara timbal balik, ia mampu membaca, memahami, menyelesaikan sejumlah persoalan yang dikeluhkan kliennya, ia mampu mengungkap dan membongkar problem yang diderita kliennya, ia mampu membedakan karakter kliennya yang umumnya berbeda-beda dll.
3.      Kompetensi mudbir, ia mampu merawat karakter jiwa besar, moralitas amanah, jujur, berkepribadian santun, rendah hati, berwawasan luas, berdedikasi tinggi, ulet, slalu berfikir inovatif, tanggung jawab, piawai dalam kepemimpinan dan administrasi dan berorientasi pada pemecahan masalah.
4.      Kompetensi Muthwir, ia mampu melebur dalam pergaulan ditengah masyarakat, mampu membaca kebutuhan masyarakat, mampu membuat konsep pemecahan atas persoalan yang berkembang di masyarakat, mampu mempertahankan karakter positif dan kredibilitas di tengah masyarakat.

2.3.3.      Karakteristik Kode Etik Dakwah
         Yang menjadi karakteristik dari etika dakwah adalah karakteristik dari etika islam itu sendiri. Dimana cakupannya terdiri dari sumber moral dakwah. Standar yang digunakan untuk menentukan baik buruknya tingkah laku sang da’I, pandangan terhadap dan naluri.
1.       Al-Quran dan sunah sumber moral
Karena pada dasarnya Al-Qur’an itu sendiri merupakan dakwah yang terkuat baggi pengembangan islam karena Al-Qur’an mencangkup cerita orang-orang terdahulu dan syariat –syariatnya srta hukum-hukumnya
2.      Akal dan Naluri
Dalam menentukan baik dan buruk dalam etika dakwah adalah akal dan naluri. Dalam etika islam akal dan naluri berpendirian sebagai berikut :
a.       Akal dan nalluri adalah anugerah Allah
b.      Naluri yang mendapatkan pengarahan dari petunjuk Allah yang dijelaskan dalam kitabnya
c.       Akal dan pikiran mannusia terbatas sehingga pengetahuan manusia terbatas dan manusia tidak akan mampu memecahkan seluruh permasalahan yang ada. Akan tetapi hanya akal yang dipancari cahaya Al-Qur’an yang bias menempatkanpada tempatnya.
3.      Motivasi Iman
Dalam melakukan tugas dakwah haruslah memiliki motivasi ataupun pendorong dalam melakukan segala aktivitasnya yaitu Aqidah dan iman yang terpatri dalam hati. Imanitulah yang mendorong seorang da’I mampu berbuat ikhlas, beramal sholeh, bekerja keras dan rela berkorban.iman yang sempurna akakn menjelmakan cinta dan taat kepada Allah.
Sekali-kali seseorang Mukmin merasa kenyang (puas) mengerjakan kebajikan, menjelang puncaknya mamasuki syurga” (HR. Tirmizi)

2.3.4.      Hikmah Dalam  Etika Dakwah
Secara umum hikmah dalam mengaplikasikan kode etik dakwah itu adalah :
1.      Kemajuan rohani.
Dimana bagi seorang juru dakwah ia akan selalu berpegang pada rambu-rambu garis islam, maka secara otomatis, ia akan memilliki akhlak yang mulia.
2.      Sebagai penuntuk kebaikan.
Kode etik dakwah menuntut da’I pada jalan kebaikan tepi mendorong dan memotivasimembentuk kehidupan yang suci dengan memprodusir kebaikan dan kebijakan yang mendatangkan kemanfaatan bagi sang da’i khususnya, dan umat islam pada umumnya.
3.      Membawa kesempurnaan iman
Iman yang sempurna akan melahirkan kesempurnaan diri. Dengan kata lain, bahwa keindahan etika adalah manifestasi dari pada kesempurnaan iman. Abu Hurairah meriwayatkan penegasan Rasulullah saw. :“Orang mukmin yang paling sempurna ialah yang terbaik akhlak dan etikanya” (Hr. at-tirmizi)
4.      Kerukunan antar umat beragama, untuk membina keharmonisan secara extern dan intern pada diri sang da’i.


BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Kesuksesan dakwah tidaklah semata-mata ditentukan kemampuan sang da’i, tapi ada faktor terpenting lain yaitu khuluqiyyah (kepribadian) sang da’i itu sendiri. Pada dasarnya kepribadian seorang da’i tercermin dari pesan–pesan dakwah yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Jika dalam dakwahnya ia berpesan agar menegakkan shalat, maka shalat itu memang sudah dilakukannya, kalau ia menganjurkan berinfaq, maka memang sudah ia laksanakan. Dakwah yang dilakukan tanpa mengamalkan pesan–pesan dakwahnya akan sulit untuk bisa di terima oleh sang mad’u (objek dakwah) sampai kedalam hatinya. Padahal memasukkan pesan– pesan dakwah tidak hanya sampai ke orang lain tapi harus membuat terjadinya perubahan dan dilaksanakan dengan dorongan hati.

Karena dakwah merupakan upaya untuk mempengaruhi orang lain, maka agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan baik bagi da’i sendiri maupun pihak yang didakwahi, dakwah nabi saw mengenal adanya aturan-aturan permainan yang dikenal dengan etika dakwah atau kode etik dakwah. Sebenarnya secara umum etika dakwah adalah etika islam itu sendiri, dimana seorang da’i sebagai seorang muslim dituntut untuk memiliki etika-etika yang terpuji dan menjauhkan diri dari prilaku yang tercela.
Namun secara khusus dalam dakwah terdapat etika sendiri seperti dicontohkan nabi saw berikut ini: Tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan, Tidak melakukan toleransi agama, Tidak Menghina sesembahan Non-Muslim, Tidak melakukan Diskriminasi Sosial, Tidak memungut Imbalan, Tidak berteman dengan pelaku maksiat, Tidak menyampaikan hal -hal yang tidak diketahui.

3.2 Saran
- Hendaklah seorang penjuru dakwah memperhatikan moral dan akhlaqnya dalam kehidupan sehari-hari. Dan menyelaraskan ucapan dan perbuatannya.
- Hendaklah penjuru dakwah banyak mempelajari sejarah tentang akhaq para nabi dalam berdakwah, sehingga bisa mengambil hikmah dan tuntunan dari keteladanan nabi dalam berdakwah.
- Hendaknya Penjuru dakwah dapat mengaplikasikan kode etik dalam berdakwah dan menjaga citra dan repuatasinya di hadapan para mad’u.



DAFTAR PUSTAKA

·         Ahmad warson Al Munawir, Al Munawir, Yogyakarta, Ponpes al Munawir, 1984

·         Abuddin Nata, akhlak Tasawuf. Jakarta: PT raja grafindo Persada, 1997

·         Abdullah Gymnastiar, 5(lima), tulisan pada mk:@MSIT StoreC:/ my%20 Document/ from % 20 Internet/aagym.chm::/m_qalbu/ lima_html.

·         M.Munir, metode dakwah, jakarta : kencana:2006

·         Mafri Amir, Etika komunikasi massa dalam pandangan islam,: jakarta: Logos 1999.

·         Syukriadi Sambas, Rislaah pohon ilmu dakwah. Bandung, KP Hadid: 2004

·         Enjang dan Hajir tajiri, Etika Dakwah, Bandung : Widya padjajaran : 2009




[1] Ahmad warson Al Munawir, Al Munawir, Yogyakarta, Ponpes al Munawir, 1984
[2] Abuddin Nata, akhlak Tasawuf. Jakarta: PT raja grafindo Persada, 1997
[3] Ibid, abuddin Nata
[4] Syukriadi Sambas, Rislaah pohon ilmu dakwah. Bandung, KP Hadid: 2004
[5] Abdullah Gymnastiar, 5(lima), tulisan pada mk:@MSIT StoreC:/ my%20 Document/ from % 20 Internet/aagym.chm::/m_qalbu/ lima_html.
[6] M.Munir, metode dakwah, jakarta : kencana:2006
[7] Mafri Amir, Etika komunikasi massa dalam pandangan islam,: jakarta: Logos 1999.